Wednesday, 22 February 2012

Status anak zina dalam hukum Islam

Status anak hasil zina itu bagaimana? "Anak yang lahir untuk pemilik
kasur dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil
perzinaannya." (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah radhiyallahu
anhu dan Aisyah radhiyallahu anha)

Bismilah, ( الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ ) anak yang dilahirkan oleh sang
istri atau budak wanitanya, jika seorang lelaki menghamili seorang
wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan
alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka
hal itu adalah perkara yang haram atasnya dan pernikahannya tidak sah,
karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar'i.

Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana disebutkan
dalam Al Mughni 6/184-185 dan Syarah Bulughul Maram karya Asy Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullahu pada Bab Iddah wal ihdad wal istibra'.

Berdasarkan hal ini, status anak hasil zina seluruh hukum nasab antara
keduanya pun tidak berlaku, diantaranya :

a. Keduanya tidak saling mewarisi.

b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.

c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita)
kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah
melakukan hubungan (sah) suami-istri, yang tentunya hal ini setelah
keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi
rabibahnya sehingga menjadi mahram.

d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan
(jika dia wanita).

Akan tetapi bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri
zinanya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam
dan Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah.

Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qodari berasal dari
air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri.

Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang
laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh
istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya
sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram
atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan
merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram
atasnya. (Lihat Majmu' Fatawa, 32/134-137, 138-140 dan Asy Syarhul
Mumti', 5/170)

Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina (status anak hasil zina)
dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling
mewarisi, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya
dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Wallahu a'lam.

Sebagian ulama ada yang menyebutkan dengan istilah pernikahan syubhat
yakni apabila keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui
dengan pasti atau yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu
dengan tujuan menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya
dalam keadaan hamil dan anak-anak yang dihasilkan setelah nikah
syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya, akan tetapi
wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat
sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah
kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan
istibra'.

(lihat Al Mughni 7/288, Majmu' Fatawa 32/66-67, Asy Syarhul Mumti' 5/641).

Wallahu a'lam