Thursday, 12 August 2010

Kesalahan demokrasi

Manhaj, 20 Maret 2004,

DEMOKRASI
Syaikh Abu Nashr Muhammad bin 'Abdillah Al Imam

Definisi Demokrasi
Abdul Ghani Ar Rahhal di dalam bukunya, Al Islamiyyun wa Sarah Ad
Dimuqrathiyyah mendefinisikan demokrasi sebagai "kekuasaan rakyat oleh
rakyat". Rakyat adalah sumber kekuasaan.
Ia juga menyebutkan bahwa orang yang pertama kali mengungkap teori demokrasi
adalah Plato. Menurut Plato, sumber kekuasaan adalah keinginan yang satu
bukan majemuk. Definisi ini juga yang dikatakan oleh Muhammad Quthb dalam
bukunya Madzahib Fikriyyah Mu'ashirah. Dan juga oleh penulis buku Ad
Dimuqrathiyyah fi Al Islam serta yang lainnya.
Perkembangan Demokrasi
Revolusi Prancis tercetus dengan semboyannya yang terkenal "kebebasan,
persaudaraan, dan persamaan ." Prancis memasukkan demokrasi ke dalam
undang-undang dasarnya di bawah judul Hak-Hak Asasi Manusia pada pasal
ketiga :
"Rakyat adalah sumber dan gudang kekuasaan. Setiap lembaga atau individu
yang memegang kekuasaan tidak lain mengambil kekuasaan dari rakyat."
Pasal ini dimasukkan kembali pada undang-undang dasar tahun 1791 M. Di situ
disebutkan bahwa tahta kepemimpinan adalah milik rakyat. Sistem ini tidak
mengakui model pembagian kekuasaan, pengunduran diri ataupun meraih
kekuasaan dengan cara kudeta.
Kemudian paham demokrasi inipun dicantumkan di dalam undang-undang dasar
sebagian negara Arab dan Islam. Sebagai contoh di Mesir ditetapkan di dalam
undang-undang kesatu tahun 1923 serta 1956. Dan pada tahun 1971 di dalam
undang-undang tersebut terdapat teks yang menyebutkan antara lain bahwa :
"Kepemimpinan adalah milik rakyat dan rakyat adalah sumber kekuasaan menurut
cara yang dijelaskan di dalam undang-undang."
Pasal ini terdapat pada undang-undang nyaris semua negara Arab dan Islam.
Pasal semacam ini juga termaktub di dalam undang-undang Yaman, negara kami.
Pada pasal empat misalnya disebutkan :
"Rakyat adalah pemilik dan sumber kekuasaan. Kekuasaan itu bisa diperoleh
secara langsung dengan cara referendum atau lewat pemilihan umum demikian
pula mencabut kekuasaan itu dapat dilakukan secara tidak langsung melalui
lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif serta melalui majelis-majelis
perwakilan yang dipilih."
Dari sini dapat diketahui bahwa demokrasi adalah "Rabb" yang berhak
menetapkan syariat.
Maka tidak samar bagi seorang Muslim bahwa ini adalah perbuatan kufur akbar,
syirik akbar, dan kezaliman yang besar. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman
mengisahkan perkataan Luqman Al Hakim :
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS.
Luqman : 13)
Syirik apalagi yang lebih besar daripada meniadakan peribadatan kepada
Allah?
Demokrasi sendiri memiliki tiga unsur yaitu :
1. At Tasyri' (Legislatif)
Tidak ada yang berhak menetapkan peraturan kecuali demokrasi. Padahal
Allah-lah Ahkamul Hakimin (Hakim Yang Seadil-adilnya) dan Arhamur Rahimin
(Yang Maha Penyayang) yang bagi-Nya seluruh kekuasaan dan Dia Maha Kuasa
atas segala sesuatu.
Dalam demokrasi, hukum-hukum-Nya tidak lagi berlaku. Dia tidak boleh membuat
peraturan bagi hamba-hamba-Nya. Membuat peraturan adalah ujung tombak dari
undang-undang. Karena itulah dibuat peraturan demi melestarikan demokrasi.
2. Al Qadha' (Yudikatif)
Tidak diperkenankan bagi seorang penguasa pun untuk memutuskan sesuatu
kecuali berdasarkan undang-undang. Kalau tidak maka dia akan terkena
hukuman. Sebagaimana tertera pada pasal 147 undang-undang dasar negeri Yaman
:
"Memberi keputusan adalah kekuasaan tersendiri baik di dalam masalah hukum,
harta kekayaan maupun administrasi. Dan pengadilan diberi kemerdekaan untuk
memberi keputusan hukum dalam seluruh perkara perdata dan pidana. Para hakim
adalah independen, tidak ada atasan bagi mereka dalam menjatuhkan vonis
kecuali undang-undang."
Renungkanlah kata-kata "tidak ada atasan bagi mereka dalam menjatuhkan vonis
kecuali undang-undang".
3. At Tanfidz (Eksekutif)
Tidak boleh melaksanakan satu keputusan pun kecuali yang berasal dari
undang-undang. Itu berarti membekukan seluruh aturan-aturan syari'ah dan
kepada Allah-lah tempat mengadukan segala urusan. Lihatlah pada pasal 104
yang berbunyi :
"Yang menjadi pelaksana kekuasaan sebagai ganti dari rakyat adalah presiden
dan kementrian sesuai garis-garis yang telah ditentukan di dalam
undangundang."
Apabila kita telah mengetahui bahwa demokrasi merupakan sistem hidup menurut
kacamata pembuat dan pembelanya maka yakinlah kita bahwa ia tidak hendak
lengser dan berubah. Demokrasi adalah sistem sosial politik internasional
yang disokong dan disepakati oleh negara-negara besar. Demokrasi adalah
sistem dan pandangan hidup global. Tidak ada halangan bagi kelompok
pro-demokrasi untuk mengubah satu bagian atau satu kata saja dari pasal
tersebut demi kepentingan demokrasi itu sendiri. Namun itu dilakukan bukan
untuk meruntuhkannya seperti kenyataan yang kita saksikan sekarang.
"Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahuinya." (QS. Yusuf : 21)
Di sini ada persoalan penting yakni bagaimana pandangan hukum Islam terhadap
orang yang menerima paham demokrasi tanpa adanya alasan syar'i?
Jawab :
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Barangsiapa mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi."
(QS. Ali Imran : 85)
Allah menjadikan orang yang menginginkan selain Islam termasuk golongan
"orang-orang yang merugi pada hari kiamat" kecuali orang tersebut belum
sampai pada apa yang dia inginkan dan belum mengerjakan apa yang dia maukan.
Allah berfirman mengisahkan kerugian orang ini :
Dan barangsiapa yang ringan timbangannya maka mereka itulah orang-orang yang
merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam. Muka
mereka dibakar api neraka dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan
cacat. Bukankah ayat-ayat-Ku telah dibacakan kepadamu sekalian tetapi kamu
selalu mendustakannya? Mereka berkata : "Ya Rabb kami, kami telah dikuasai
oleh kejahatan kami dan adalah kami orang-orang yang sesat." (QS. Al
Mukminun : 103-106)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang
lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. Al
Maidah : 50)
Allah menjelaskan bahwa sesungguhnya hanya ada dua hukum, hukum Allah Azza
wa Jalla dan hukum makhluk-Nya. Dan Allah menjelaskan bahwa hukum selain-Nya
adalah hukum jahiliyah walaupun manusia memandangnya sebagai lambang
kemajuan dan "lebih demokratis". Dan demokrasi adalah hukum jahiliyah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS. Al Maidah : 44)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (QS. Al Maidah : 45)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah maka
mereka itu adalah orang-orang yang fasiq." (QS. Al Maidah : 47)
Sebab turunnya ayat ini adalah ketika ahlul kitab mengingkari hukuman
terhadap seorang pezina yang Allah syariatkan di dalam kitab mereka dan
lebih ridha dengan hukum yang mereka buat. Allah memvonis mereka dengan
kekufuran, kezaliman, dan kefasikan. Lalu, bagaimana dengan orang yang
menentang semua hukum Allah, mengingkari dan memperolok-oloknya? Bukankah
kekufuran, kezaliman, serta kefasikannya lebih keras dan lebih besar?
Sungguh Allah telah berfirman :
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah
sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan
menunjukkan jalan kepada mereka kecuali jalan ke neraka Jahannam mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah." (QS. An Nisa : 168-169)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan
yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan
sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat
pedih." (QS. Asy Syura : 21-22)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah
diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya." (QS. An Nisa' : 60)
Persoalan lainnya adalah mungkinkah mendekatkan ajaran Islam dan demokrasi?
Jawabnya :
Tidak! Sebabnya adalah beberapa hal berikut :
1. Bahwa yang berhak membikin syariat (peraturan) dalam Islam hanyalah Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan
keputusan." (QS. Al Kahfi : 26)
"Sesungguhnya hukum hanya milik Allah saja." (QS. Yusuf : 40)
"Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah
Rabb semesta alam." (QS. Al A'raf : 54)
Yang dimaksud dengan al amru adalah al hukmu. Allah Azza wa Jalla berfirman
:
"Bahkan milik Allah-lah al amru seluruhnya." (QS. Ar Ra'd : 31)
Dan Nabi kita Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membuat syariat atas dasar
perintah Allah bukan karena kemauan beliau sendiri.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama)
Kami niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian
benar-benar Kami potong urat tali jantungnya." (QS. Al Haqqah : 44-46)
Allah memberitakan tentang perihal beliau dalam surat Al An'am (ayat ke-60)
dan Al Ahqaf (ayat ke-9) :
"Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku."
Allah berfirman kepada beliau :
Katakanlah : "Aku hanya memperingatkan kalian dengan wahyu." (QS. Al Anbiya
: 45)
Allah juga berfirman membersihkan Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya) yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat yang
mempunyai akal yang cerdas." (QS. An Najm : 3-6)
Allah berfirman kepada Nabi-Nya :
"Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan." (QS. An Nahl : 44)
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya." (QS. An Nisa' : 59)
Dan Dia Azza wa Jalla menjadikan taat kepada Rasul-Nya sebagai bentuk taat
kepada-Nya. Allah berfirman :
"Barangsiapa yang menaati Rasul sesungguhnya ia telah menaati Allah." (QS.
An Nisa' : 80)
Bahkan Allah menjadikan seorang Muslim tidak mendapatkan petunjuk sampai dia
taat kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Dia berfirman :
"Jika kalian taat kepadanya maka kalian akan mendapatkan petunjuk." (QS. An
Nur : 54)
Dan Allah menjelaskan bahwa kerugian yang paling besar yang menimpa seorang
hamba pada hari kiamat adalah ketidaktaatannya kepada Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam :
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya
seraya berkata : "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama
Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si
fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al
Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku." (QS. Al Furqan : 27-29)
Adapun di dalam demokrasi yang membikin peraturan adalah makhluk yang bodoh
--setinggi apapun tingkatan ilmunya--. Karena seandainya dia mengetahui
sesuatu tentu masih banyak hal lain yang tidak dia ketahui.
2. Tidak boleh mengadakan pendekatan antara Islam dan demokrasi walau pada
sebagian unsurnya saja. Sebab Islam adalah ajaran yang universal dan
sempurna bagi segala problem kehidupan.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu
berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. An Nisa' : 65)
Apabila keimanan kita tidak sempurna kecuali dengan menjadikan Rasul kita
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sebagai hakim maka hal ini menunjukkan bahwa
setiap Muslim dituntut untuk menerima kebenaran pada setiap permasalahan.
Allah Azza wa Jalla telah berfirman :
ﻓَﺈِﻥْ ﺗَﻨَﺎﺯَﻋْﺘُﻢْ ﻓِﻲ ﺷَﻲْﺀٍ ﻓَﺮُﺩُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﷲِ ﻭَﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ
ﺇِﻥْﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺎﷲِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍْﻵﺧِﺮِ ﺫَﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦُ
ﺗَﺄْﻭِﻳﻼً ﴿ ﺍﻟﻨﺴﺂﺀ : ٥٩ ﴾
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian." (QS. An Nisa' : 59)
Firman Allah Azza wa Jalla ( ﻓِﻲ ﺷَﻲْﺀٍ ) mencakup segala masalah yang
terjadi perselisihan di dalamnya. Karena kata tersebut adalah nakirah dalam
konteks kalimat syarat. Dan firman Allah Azza wa Jalla :
ﺇِﻥْﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ ﺑِﺎﷲِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍْﻵﺧِﺮِ ﺫَﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻭَﺃَﺣْﺴَﻦُ
ﺗَﺄْﻭِﻳﻼً ﴿ ﺍﻟﻨﺴﺂﺀ : ٥٩ ﴾
" … jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian."
Adalah dalil bahwa barangsiapa tidak mengembalikan perkara dan
perselisihannya kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam maka pengakuan keimanannya adalah dusta.
3. Seandainya kita mengadakan pendekatan dengan mereka maka kita tidak akan
selamat dari azab Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama) itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali
tidak akan dapat menolak dari kamu sedikit pun dari (siksa) Allah." (QS. Al
Jatsiyah : 18-19)
Mereka tidak bisa menghindarkan kita dari kemurkaan Allah, kehinaan di
hadapan-Nya dan azab yang jelek di dunia dan akhirat.
Apabila kita ditimpa kemurkaan Allah karena taat kepada mereka maka
keselamatan dan kebaikan yang sebenarnya adalah dengan mencari keridhaan
Rabb kita. Sebab, taat kepada makhluk dalam rangka bermaksiat kepada Allah
hanya akan membuahkan kehinaan dan kerendahan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan
kamu disentuh api neraka dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang
penolong pun selain Allah kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan." (QS.
Hud : 113)
Kalau cenderung saja kepada mereka menyebabkan disentuh api neraka lalu
bagaimana pendapat Anda dengan orang yang menerima sesuatu dari hukum-hukum
mereka?
4. Apabila kita menaati mereka dalam sebagian perkara dan menolak untuk
menaati mereka secara total niscaya mereka tidak akan ridha kepada kita.
Mereka tidak akan berhenti melancarkan gangguan-gangguan terhadap kita
selamanya sampai kita mau menerima agama mereka secara total dan
meninggalkan agama kita secara total pula. Allah berfirman :
Orang-orang yahudi dan nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka. Katakanlah : "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah
petunjuk (yang benar)." Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan datang kepadamu maka Allah tidak lagi menjadi pelindung
dan penolong bagimu. (QS. Al Baqarah : 120)
Dan inilah yang menjadikan sebagian kaum Muslimin --terutama para penguasa--
menerima aturan-aturan yahudi dan nashara. Mereka berkata : "Kami akan
menaati mereka pada sebagian perkara saja."
Padahal Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia :
Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah
petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan mereka mudah (berbuat
dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena
sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang
yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang yahudi) : "Kami
akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan." Sedang Allah mengetahui rahasia
mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat (maut) mencabut nyawa
mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu
adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan
Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya,
sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka. (QS. Muhammad : 25-28)
5. Sebagaimana tidak dibolehkan menerima kekufuran dan kesyirikan demikian
pula tidak diizinkan menerima demokrasi. Karena ia adalah kufur, syirik, dan
jahat! Bagaimana bisa seorang Muslim melahirkan satu sikap yang
kontradiktif?
Karena inilah Imam Syafi'i rahimahullah berkata :
"Jika kalian melihat aku menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam maka persaksikanlah bahwa akalku telah hilang!"
Orang yang menerima kampanye taqrib (pendekatan) antara Islam dan demokrasi
tidaklah memiliki akal yang sehat.
6. Kita sangat berbeda dengan penganut demokrasi dari kalangan yahudi dan
nashara serta agama-agama kafir lainnya. Karena mereka ingkar kepada Allah
dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Berbeda dengan kaum Muslimin.
Mereka hidup di negeri Islam. Di hadapan mereka ada Al Quran dan As Sunnah
serta para ulama dan da'i-da'i ilallah yang ikhlas dan selalu memberi
nasihat. Tidak ada alasan bagi mereka untuk berjalan di belakang demokrasi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
Katakanlah : "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja
bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya
apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka
sambil bersujud." (QS. Al Isra : 107)
(Dikutip dari buku, judul Indonesia :" Menggugat Demokrasi dan Pemilu,
Menyingkap Borok-borok Pemilu dan Membantah Syubhat Para Pemujanya". Karya
Ulama dari Yaman, Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah Al Imam, pengantar
Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi'i Rahimahullah, Ulama Yaman. Judul asli
Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat. Penerbit :
Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate. Sumber http://www.assunnah.cjb.net.)
Silahkan menyalin & memperbanyak artikel ini dengan mencantumkan url
sumbernya.
*Sumber artikel : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=569*
--
Dikirim dari perangkat seluler saya