Saturday, 18 December 2010

Suara gamelan Kartini

Kaudengarkah suara gamelan
tak putus-putusnya dilantunkan
di pendapa agung yang dijaga
tiang-tiang perkasa
hanya untuk mengalunkan
tembang-tembang lara?
….

Demikian sepotong sajak "Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena", karya Joko Pinurbo di kumpulan puisinya, Celana. Saat membaca bait-bait sajak tersebut, Sofyan Rosyidi "membayangkan Kartini sedang bersandar di kursi goyang berukir indah. Matanya mungkin langsung memejam. Tapi ingatannya melanglang pergi, menyambangi bertumpuk kenangan yang telah jauh. Tumpukan kenangan dari kesilaman yang dikenangnya dengan perih: saat ia dipingit pada usia menginjak dua belas tahun."

Lewat sepucuk surat untuk nona Zeehandelaar, Kartini mengisahkan kenangannya saat menjalani masa "tutupan" alias pingitan itu. "Saya dikurung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar…. Betapa saya dapat menahan kehidupan yang demikian, tiadalah saya tahu. Hanya yang saya tahu, masa itu amat sengsaranya," tulisnya di surat bertanggal 25 Mei 1899.

Saat itu, cuma tetabuhan gamelan yang menjadi hiburannya. Dan bagi seorang yang sedang menanggung siksa dan lara, alunan gamelan itu kedengaran bukan seperti suara dari tembaga, kayu atau kulit kendang, melainkan lebih terasa sebagai suara yang keluar dari sukma manusia, meresap ke dalam hati, kadang berujud keluh-kesah, sebentar lagi meratap-menangis, sekali-kali seperti gelak tawa. Saya kira, itulah sebabnya kenapa Kartini pernah menyebut alunan suara gamelan sebagai "bunyi jelita yang sedih".

Bunyi jelita Kartini yang meratap sedih itu diratapkan kembali dengan lebih menyayat oleh PejalanJauh:

Pada Juni 1903, Kartini akhirnya berhasil mendirikan sekolah gadis di kota kelahirannya. Baru sebulan ia dikerkah kesibukan sebagai guru, Kartini lagi-lagi dihardik oleh sebuah situasi yang memaksanya merumuskan ulang segala pendirian yang jauh sebelumnya telah ia pancangkan. Situasi kritis itu datang lewat sepucuk surat. Bukan sembarang surat, melainkan surat lamaran pernikahan dari Bupati Rembang, R.M. Adipati Joyoadiningrat. Ajaibnya, Kartini menerima lamaran itu. Kartini resmi melepas masa lajangnya pada 8 November 1903.

Pernikahan ini jauh lebih ajaib daripada pembatalan kepergiannya ke Belanda. Berkali-kali Kartini mengutarakan dalam surat-suratnya (baik kepada keluarga Abendanon, Ovink Soer maupun Stella) tekad bulat untuk tidak menikah. Simak kata-katanya yang sungguh telengas ini: "Kerja yang serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan dengan sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, dan aku bebas!"

Kebencian Kartini pada institusi pernikahan bukan semata karena perempuan tidak akan bebas lagi begitu ia menikah, tetapi terutama karena faktor poligami. Kartini tahu benar sakit dan perihnya poligami karena ibundanya sendiri adalah korban poligami. Ia yakin, tak ada satu pun perempuan yang mau disakiti dengan poligami. Masalahnya, membenci dan mencerca poligami berarti ia juga harus berhadapan dengan bapaknya, pelaku langsung poligami. Bagaimana bisa Kartini membenci orang yang paling ia kasihi?

… Saya curiga, jangan-jangan saat di mana Kartini menerima lamaran itu adalah titik di mana Kartini, pinjam kata-kata Sosiawan Leak dalam sajak Tragedi, "…hanya merasakan keheningan yang cekam, kesepian yang tajam, saat kilau sebilah pisau mantul risaumu, digenggam sosok berwajah kelabu."

Sudah sejak dulu ia merasa sendiri. Segala maksud baiknya kerap dilecehkan justru oleh pihak-pihak yang mana pengorbanannya hendak ia labuhkan. Sepintas, Sang Bapak seperti menerima dan menyokong cita-cita dan pendirian Kartini. Tapi tidak sebagai sebuah keseluruhan. Di rumah, yang benar-benar mengerti dirinya hanya dua adiknya, Roekmini dan Kardinah. Sosorokartono, abangnya, terlampau jarang mereka bersua. Itulah sebabnya ia tekun menulis surat pada siapa saja yang mendengarkan dan mendukung keyakinannya. Di pundak Djoyoadiningrat-lah ia berharap bisa berbagi kesendirian, berbagi pendirian, dan saling menyokong cita-cita satu sama lain.
Pelan tapi pasti, gugusan pengalaman hidup yang penuh sedih dan gembira, pertentangan tanpa henti antara cita-cita dan kenyataan, pergolakan untuk berbakti pada orang tua atau bagi kaum dan masyarakatnya, berhasil memaksa Kartini untuk merumuskan ulang dirinya, cita-citanya, pendiriannya, termasuk segala hal ihwal yang sebelumnya ia anggap sebagai momok. Dalam rumusannya yang baru, sesuatu yang dulu dicap sebagai momok coba ia manfaatkan sebagai peluang. Pernikahan poligami yang ia terima adalah contohnya.


Ya, pernikahan R.A. Kartini sebagai istri keempat Bupati Rembang itu merupakan paradoks. Di satu sisi, pernikahannya itu dapat dipandang sebagai peluang, tetapi di sisi lain, pernikahannya yang poligamis itu dapat pula dilihat sebagai kegagalannya. Ny Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dalam jumpa pers menjelang peringatan Hari Kartini, di Wisma Negara, Jakarta, Kamis (19/4/2001), menerangkan:

Kartini juga manusia biasa, bukan dewi. Oleh karena itu, ia juga mengalami kegagalan. Contohnya, Kartini tidak sanggup melawan kekuatan budaya patriarkhi yang berkaitan erat dengan para menak yang menjadikan Kartini sebagi istri yang kesekian dari seorang bupati. Bukankah itu suatu kegagalan? Dia gagal menolak poligami karena sebetulnya ia berontak terhadap masalah itu. Ia tidak berhasil melepaskan diri dari poligami.

Tetapi saat menjadi istri Bupati Rembang itulah Kartini justru bisa merealisasikan sebagian cita-citanya untuk menyediakan pengajaran bagi perempuan bumiputera. Sang Suami memang dikenal sebagai bupati yang sudah berpikiran maju dan mendukung ide-ide Kartini. "Saya mengucap syukur, membiarkan saya dibimbing oleh seorang yang ditunjukkan oleh Allah Yang Mahakuasa menjadi kawan saya seperjalanan menempuh hidup…" tulisnya kepada keluarga Abendanon. Lupakah Kartini pada ucapan telengasnya tentang perkawinan paksa dan poligami dahulu?

Demikian pertanyaan dari Sofyan Rosyidi. Terhadap pertanyaan semacam itu, telah tersedia jawaban oleh Sri Suhandjati Sukri melalui artikelnya, "Kartini Kritik Metode Pendidikan Agama":

Kartini pernah menyatakan kekesalannya terhadap metode pengajaran agama yang tidak membuka peluang untuk berdialog. Hal ini pernah diungkapkan dalam surat yang ditujukan kepada Ny Abendanon. Guru mengaji pada waktu itu umumnya menyampaikan ajaran agama secara indoktrinatif. Maka, posisi Kartini hanya sebagai penerima informasi yang pasif. Metode penyampaian ajaran yang demikian tidak membuka peluang berkembangnya pemikiran yang dapat mendukung peningkatan pemahaman dan kesadaran untuk melaksanakan ajaran agama.

Gejolak jiwa Kartini untuk dapat memahami agamanya secara lebih baik, terpenuhi setelah dia bertemu dengan Kiai Saleh Darat, seorang ulama kelahiran Kedungcumpleng, Mayong, Jepara. Ulama ini dikenal sebagai seorang yang berpandangan luas dan mempunyai metode yang tepat dalam penyampaian ajaran agama. Misalnya, untuk memudahkan masyarakat Jawa memahami ajaran agamanya, Kiai Saleh Darat menulis kitab fikih dan tafsir dalam huruf arab pegon. Dengan demikian, masyarakat Jawa mudah untuk membacanya, sekaligus mengerti maknanya. Sebab walaupun berhuruf Arab, tetapi bahasanya Jawa.

Dari dialog dengan Kiai Saleh Darat dan membaca kitab- kitab yang ditulisnya, Kartini menemukan metode yang dapat meningkatkan pemahamannya tentang kandungan Alquran.

Hal ini menambah semangat Kartini mempelajari agamanya. Hasilnya, dia pun merasakan kedekatan dengan Tuhan. Dia mengemukakan kebahagiaannya itu kepada Ny Abendanon. Dia menyatakan telah menemukan jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan setelah bertahun-tahun dia cari dan rindukan.

Pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agamanya, membawa perubahan pada jiwa Kartini. Dia menjadi lebih sabar menerima kegagalan dan hambatan yang merintangi perjuangannya. Kartini sadar akan adanya takdir Tuhan, di samping usaha manusia, termasuk perihal poligami yang dulu ditentangnya.

Perkawinannya dengan Bupati Rembang Djayadiningrat yang telah memiliki tiga istri dan tujuh orang anak dia terima sebagai takdir Tuhan yang berhikmah. Sebab suaminya termasuk orang yang mendukung pemikiran-pemikiran Kartini untuk mencerdaskan kaum perempuan.